Mau tidak mau, saat era globalisasi semakin merambah, tentu kita sebagai putra daerah tidak ingin daerahnya jauh tertinggal hanya karena ketidak pedulian para anak rantau. Padahal, tidak sedikit putra maupun putri dari daerah ini yang seharusnya bisa memberikan perhatian.
Kini, kondisi yang stagnan tidak menunjukkan adanya perkembangan yang dinamis. Mengikuti perkembangan zaman, masih saja pola pikir belum bisa diubah menjadi sesuatu yang lebih maju. Padahal, berkat yang diterima para anak rantau di perantauan juga tidak terlepas dari doa tanah para penghuni tanah Ranggitgit.
Secara sederhana saja, jika saja putra putri tanah Ranggitgit yang saat ini berada di perantauan menyisihkan Rp 50 ribu setiap bulan. Berapa besar pembangunan yang bisa dilakukan setiap tahunnya di desa mungil itu.
Ibaratkan saja anak rantau dari Ranggitgit 100 orang yang sampai saat ini masih di tano parserahan. Jika semua komitmen memberikan secuil dan tidak lebih besar dari biaya pulsa ponselnya setiap bulannya, mungkin banyak manfaat yang bisa diambil.
Bagaimana mengelola dana tersebut menjadi sebuah hasil dan dampak bagi keluarga yang ada di kampung halaman. Tentu generasi muda akan bisa berkoordinasi dengan para orang tua untuk lebih mengkombinasikan hal-hal yang lebih penting dipikirkan di kampung tercinta itu.
Karena, bagaimana pun ketika hal itu bisa dilakukan para anak rantau untuk Desa Ranggitgit, saat ini disebut desa. Namun beberapa tahun ke depan, tidak ada yang lebih kuat dari sistem di istana kita itu.
Kembali kepada komitmen bersama juga. Ketika, itu bisa kita lakukan. Maka apa pun yang kita pikirkan bersama, ketika kepadatan penduduk di ibu kota terjadi, kita telah menyediakan tempat dimana kita bisa kembali ke kampung halaman dengan disambut segala sesuatu yang mungkin untuk dikelola sebagai kelangsungan hidup.
Saat ini, jika saja kota-kota perantauan telah memaksa kita harus pulang ke kampung halaman, apakah kita akan kembali ke pollak dengan pola pertanian yang lama? Apakah kita tidak ingin ada pola baru yang justru bisa membawa perubahan
yang lebih besar ketika kita kembali. Bukan disambut kelaparan, namun justru kita akan disambut oleh kemakmuran.
Memang tidak mudah menyatukan persepsi ini. Harapan dan keinginan tentu ada.
Saya yakin, saudara-saudara ku di perantauan juga memikirkan hal itu. Karena tak selamanya kita akan pulang diakhir tahun, atau saat ada pesta atau acara adat. Memang saat ini belum terjadi, dalam perjalanan alkitab juga itu dikatakan, bahwa suatu saat semuanya akan kembali ke tanah kelahirannya.
Apakah kita akan kembali ke sana dengan jalanan berlumpur, rumah-rumah sudah tua, dan kita meminta makan sama warga yang menyambut kita disana?
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone