Tertumpu pandangan mata ketika bergeser dari tengah lapangan menuju Pendopo yang berdiri dengan corak melayu di bagian atapnya. Di salah satu sudut Pendopo, ada beberapa insan manusia dengan posisi dan warna yang jauh berbeda.
Empat orang diantaranya tergeletak pulas di atas kotak yang terbuat dari keramik itu. Menjadi bagian atap toilet di sisi Timur Pendopo itu. Namun kotak yang terbuat dari beton ini kerap menjadi tempat duduk warga Medan saat bersantai atau sedang mengikuti acara kenegaraan atau kegiatan lainnya di Lapangan Merdeka.
Mereka yang tertidur pulas diantaranya, seorang pria paruh baya tertidur pulas dengan telungkup, mengenakan kemeja usang dan celana panjang coklat buram. Rambutnya sekitar lima centimeter ikal, gersang dan tidak lebat. Pipi sebelah kirinya menyentuh keramik.
Satu pria lainnya anak sekitar berusia belasan tahun, yang tertidur menyamping dengan arah kaki ke kepala pria paroh baya. Badannya kurus, dan hitam terpanggang sinar matahari. Rambunta nyaris sama dengan pria paroh baya. Ia tertidur pulas.
Seoarang anak perempuan yang lebih muda, sekitar usia lima sampai enam tahun dengan rambut gersang bergelombang dan panjangya tidak sampai se bahu. Ia terduduk di antara posisi dua pria tadi tertidur, memandangi tiga orang lainnya yang mengambil posisi sama di atas kota bersisikkan keramik itu. Ia mengenakan celana pendek dan baju usang.
Sementara satu orang lainnya, seorang bocah berusia antara tiga sampai empat tahun. Yang telungkup dengan celana pendek yang dikenakannya molor sepaha.
Tak lama, si bocah terbangun dan terduduk dekan si anak perempuan. Di hadapannya, ia melihat dan memandangi sekitarnya yang sudah ramai sekitar pukul 07.30 WIB tepat hari Minggu (24/3). Di sisi lain Pendopo, sedang berlangsung senam bersama di pagi hari bersama Komunitas Masyarakat Kebugaran Indonesia.
Ribuan warga Medan meramaikan Lapangan Merdeka yang menjadi ruang terbuka menikmati udara segar di pagi hari di Kota Medan. Dari berbagai penjuru datang ke lokasi ini melakukan aktifitas olahraga pagi.
Suasana itu dipandangi si bocah, sesekali ia memutar pandangannya ke seluruh sudut lapangan yang telah penuh dengan manusia. Seakan berfikir, siapa dan kenapa orang yang banyak itu berkumpul disana.
Terdiam tanpa sepatah kata saat mengamati sekitarnya, si bocah tersentak dan justru melepas seluruh celana pendeknya. Ia sesekali menggoyang pria belasan tahun yang ada di hadapannya. Ditariknya lengan pria itu. Tak lama, pria yang lebih cocok disebut sebagai saudaranya itu terbangun, merespon panggilan si bocah. Namun dia tidak langsung beranjak.
Ia malah mencoba mengajak si bocah bermain, dengan menggelitik bagian perutnya. Sesekali dimainkannya kemaluan si bocah. Dan membuat si bocah yang ternyata seorang laki-laki itu menangis, dan mencoba berontak tehradap saudaranya itu.
Karena jengkel dengan sikap kakakanya itu, si bocah menangis melengking dan menarik-narik pakaian kakaknya itu. Tidak digubris. Raut wajahnya yang suram, seolah menggambarkan suasana kelaparan yang membuatnya menangis dan tidak tahu harus berbuat apa-apa.
Sementara si perempuan, hanya terduduk tidak jauh dari si bocah. Sesekali memandangi seluruh warga yang membentuk lingkaran mengikuti pola lintasan jogging di Lapangan Merdeka Medan pagi itu. Sementara sang pria paroh baya tetap tertidur pulas, tanpa menghiraukan apa yang sedang terjadi.
Besarnya suara sound sistem yang diputar sebagai musik pengiring senam kebugaran pagi itu, tidak mengusiknya sedikit pun.
Terusik bagi penulis, ktika mengamati kondisi ini, yang menduga keempat orang itu adalah anggota keluarga yang satu. Miris, melihat kondisi itu, ketika mereka harus tidur menghabiskan malam di tempat yang tidak selayaknya.
Seorang balita yang seharusnya membutuhkan asupan gizi dan vitamin yang cukup, bahkan istirahat yang cukup harus berjuang di tengah beratnya tantangan kehidupan. Sebab, sekitar pukul 06.00 WIB, penulis telah melihat mereka di sana.
Seakan tidur di hotel berbintang, mereka pulas tanpa ada dinding pembatas angin malam menembus kulitnya menuju tulang-tulangnya yang mungkin sudah tidak disanggupi dengan asupan gizi.
Meksi demikian, tidak ada satu orang pun yang terlihat peduli dengan kondisi ini. Seakan tidak ada yang mau tahu keberadaan mereka yang sesungguhnya butuh perhatian.###