Selamat datang di blog saya

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA............

HORAS !!!

Kamis, 11 April 2013

Andai Pimpinanku Tak Buta....

Seandainya pimpinan ku tidak buta, maka semua mungkin akan jauh lebih indah. Mencoba peduli, bukan hanya memikirkan posisi nyamannya saja. Sulit untuk dimengerti, ketika semua hanya berjalan sesuai dengan pembenaran diri masing-masing.

Aku memang bukanlah seseorang yang super bisa, menulis dengan baik, dan pola sikap masih butuh banyak pembelajaran. Untuk itulah aku hidup dan berada di tengah mereka. Menjadi bawahan, untuk belajar dari para pimpinan. Hanya saja, pelajaran positif itu akan hilang, sebab saat ini tidak ada yang bisa dicontoh. Meski bisa mengambil sisi baiknya, untuk tidak mengikuti mereka.

Ketika aku harus berjuang dengan reputasiku di lapangan, dengan gampangnya mereka merusaknya. Tanpa merasa bersalah, seoalah tak beretika. Semua dilakukan sesuka hatinya, tidak ada pola yang bisa ku mengerti. Kepentingan kantong masing-masing dipertontonkan di hadapan ku.

Aku paham saat aku semakin terpojok. Saat aku harus menghindari tatap muka dengan mereka, yang tidak lagi inspirasi bagi ku. Melainkan hanya penyebab kegundahan dalam setiap hari bangkit dari tidurku. Berat rasanya jika harus memutar arah ke kantor itu begitu keluar dari rumah.

Tak ingin menatap sekejab pun, walau harus ku akui aku masih menggantungkan hidup di sana. Hanya saja, miris rasanya ketika mereka-mereka itu justru merusak reputasiku dari balik mejanya. Semua dilakukan hanya dengan membalikkan fakta, dan membuang fakta.

Dipaksa dengan aturan yang baik menurut mereka, hanya saja kesenjangan kembali terjadi dalam penerapan aturan mereka itu. Kewajiban memenuhi kuantitas laporan dengan konten lokal harus menjadi target di lapangan setiap hari. Meski setiap bulannya tak bisa memenuhi target sesuai dengan yang diminta.

Sedikit lega rasanya, meski mendapat surat teguran (pimpinan ku menyebutnya surat cinta). Hasil itu aku dapat dari kinerja di lapangan, tidak seperti sebagian yang justru mencari laporan di internet untuk target internet. Walau targetnya hanya tiga biji (sementara kami 10 biji) per hari. Namun pimpinanku nampaknya tidak membuka matanya untuk itu, bahkan tiak menjalankan fungsi otaknya.

Dengan entengnya dia memberikan "surat cinta" kepada ku dan teman-teman yang telah bersusah payah. Sementara diantara yang tak menerima "surat cinta" dan cengar cengir, hanya dihadiahi dengan senyuman dan pujian. Tidak ada yang bisa ku katakan, meski ketidak adilan akan terus terjadi.

Apa keistimewaan fasilitas juga akan diikuti keistimewaan penilaian. Walau hanya melakukan pengkibusan, akan tetap baik di mata "pimpinan ku". Bahkan, mernaruh rasa hormat akan dia? Apakah hanya penjilat yang akan bertahan? Apakah itu tujuannya?

Selain perlakuan yang tidak berprikeadilan, juga terjadi kesewenang-wenangan di dalam proses ini semua. Mereka berharap mendapat hasil yang terbaik, namun mereka merusak apa-apa yang menjadi sumber laporan itu juga. Semua itu hanya akan tinggal mimpi untuk sebuah perubahan. Sebab semua mengeraskan hati, dan merasa paling benar dengan apa yang dilakukan.

Semoga saja perusahaan ini bisa berjalan dengan mereka-mereka. Atau lebih baik mereka diganti sebelum semuanya rusak. ###
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Minggu, 24 Maret 2013

PRIA PARUH BAYA ITU TERTIDUR PULAS

Tertumpu pandangan mata ketika bergeser dari tengah lapangan menuju Pendopo yang berdiri dengan corak melayu di bagian atapnya. Di salah satu sudut Pendopo, ada beberapa insan manusia dengan posisi dan warna yang jauh berbeda.
Empat orang diantaranya tergeletak pulas di atas kotak yang terbuat dari keramik itu. Menjadi bagian atap toilet di sisi Timur Pendopo itu. Namun kotak yang terbuat dari beton ini kerap menjadi tempat duduk warga Medan saat bersantai atau sedang mengikuti acara kenegaraan atau kegiatan lainnya di Lapangan Merdeka.
Mereka yang tertidur pulas diantaranya, seorang pria paruh baya tertidur pulas dengan telungkup, mengenakan kemeja usang dan celana panjang coklat buram. Rambutnya sekitar lima centimeter ikal, gersang dan tidak lebat. Pipi sebelah kirinya menyentuh keramik.
Satu pria lainnya anak sekitar berusia belasan tahun, yang tertidur menyamping dengan arah kaki ke kepala pria paroh baya. Badannya kurus, dan hitam terpanggang sinar matahari. Rambunta nyaris sama dengan pria paroh baya. Ia tertidur pulas.
Seoarang anak perempuan yang lebih muda, sekitar usia lima sampai enam tahun dengan rambut gersang bergelombang dan panjangya tidak sampai se bahu. Ia terduduk di antara posisi dua pria tadi tertidur, memandangi tiga orang lainnya yang mengambil posisi sama di atas kota bersisikkan keramik itu. Ia mengenakan celana pendek dan baju usang.
Sementara satu orang lainnya, seorang bocah berusia antara tiga sampai empat tahun. Yang telungkup dengan celana pendek yang dikenakannya molor sepaha.
Tak lama, si bocah terbangun dan terduduk dekan si anak perempuan. Di hadapannya, ia melihat dan memandangi sekitarnya yang sudah ramai sekitar pukul 07.30 WIB tepat hari Minggu (24/3). Di sisi lain Pendopo, sedang berlangsung senam bersama di pagi hari bersama Komunitas Masyarakat Kebugaran Indonesia.
Ribuan warga Medan meramaikan Lapangan Merdeka yang menjadi ruang terbuka menikmati udara segar di pagi hari di Kota Medan. Dari berbagai penjuru datang ke lokasi ini melakukan aktifitas olahraga pagi.
Suasana itu dipandangi si bocah, sesekali ia memutar pandangannya ke seluruh sudut lapangan yang telah penuh dengan manusia. Seakan berfikir, siapa dan kenapa orang yang banyak itu berkumpul disana.
Terdiam tanpa sepatah kata saat mengamati sekitarnya, si bocah tersentak dan justru melepas seluruh celana pendeknya. Ia sesekali menggoyang pria belasan tahun yang ada di hadapannya. Ditariknya lengan pria itu. Tak lama, pria yang lebih cocok disebut sebagai saudaranya itu terbangun, merespon panggilan si bocah. Namun  dia tidak langsung beranjak.
Ia malah mencoba mengajak si bocah bermain, dengan menggelitik bagian perutnya. Sesekali dimainkannya kemaluan si bocah. Dan membuat si bocah yang ternyata seorang laki-laki itu menangis, dan mencoba berontak tehradap saudaranya itu.
Karena jengkel dengan sikap kakakanya itu, si bocah menangis melengking dan menarik-narik pakaian kakaknya itu. Tidak digubris. Raut wajahnya yang suram, seolah menggambarkan suasana kelaparan yang membuatnya menangis dan tidak tahu harus berbuat apa-apa.
Sementara si perempuan, hanya terduduk tidak jauh dari si bocah. Sesekali memandangi seluruh warga yang membentuk lingkaran mengikuti pola lintasan jogging di Lapangan Merdeka Medan pagi itu. Sementara sang pria paroh baya tetap tertidur pulas, tanpa menghiraukan apa yang sedang terjadi.
Besarnya suara sound sistem yang diputar sebagai musik pengiring senam kebugaran pagi itu, tidak mengusiknya sedikit pun.
Terusik bagi penulis, ktika mengamati kondisi ini, yang menduga keempat orang itu adalah anggota keluarga yang satu. Miris, melihat kondisi itu, ketika mereka harus tidur menghabiskan malam di tempat yang tidak selayaknya.
Seorang balita yang seharusnya membutuhkan asupan gizi dan vitamin yang cukup, bahkan istirahat yang cukup harus berjuang di tengah beratnya tantangan kehidupan. Sebab, sekitar pukul 06.00 WIB, penulis telah melihat mereka di sana.
Seakan tidur di hotel berbintang, mereka pulas tanpa ada dinding pembatas angin malam menembus kulitnya menuju tulang-tulangnya yang mungkin sudah tidak disanggupi dengan asupan gizi.
Meksi demikian, tidak ada satu orang pun yang terlihat peduli dengan kondisi ini. Seakan tidak ada yang mau tahu keberadaan mereka yang sesungguhnya butuh perhatian.###

Minggu, 17 Maret 2013

Akankah Tanah Ranggitgit Kita Biarkan?

Memulai sesuatu yang lebih berarti untuk Huta Ranggitgit sudah menjadi kewajiban seluruh anak rantau yang berasal dan merasa memilikinya. Sungguh, sangat tersentuh untuk bisa memberikan sesuatu yang labih baik. Walau kecil, maunya para anak rantau agar segera membagi sedikit pikiran untuk kembali memperhatikannya.

Mau tidak mau, saat era globalisasi semakin merambah, tentu kita sebagai putra daerah tidak ingin daerahnya jauh tertinggal hanya karena ketidak pedulian para anak rantau. Padahal, tidak sedikit putra maupun putri dari daerah ini yang seharusnya bisa memberikan perhatian.

Kini, kondisi yang stagnan tidak menunjukkan adanya perkembangan yang dinamis. Mengikuti perkembangan zaman, masih saja pola pikir belum bisa diubah menjadi sesuatu yang lebih maju. Padahal, berkat yang diterima para anak rantau di perantauan juga tidak terlepas dari doa tanah para penghuni tanah Ranggitgit.

Secara sederhana saja, jika saja putra putri tanah Ranggitgit yang saat ini berada di perantauan menyisihkan Rp 50 ribu setiap bulan. Berapa besar pembangunan yang bisa dilakukan setiap tahunnya di desa mungil itu.

Ibaratkan saja anak rantau dari Ranggitgit 100 orang yang sampai saat ini masih di tano parserahan. Jika semua komitmen memberikan secuil dan tidak lebih besar dari biaya pulsa ponselnya setiap bulannya, mungkin banyak manfaat yang bisa diambil.

Bagaimana mengelola dana tersebut menjadi sebuah hasil dan dampak bagi keluarga yang ada di kampung halaman. Tentu generasi muda akan bisa berkoordinasi dengan para orang tua untuk lebih mengkombinasikan hal-hal yang lebih penting dipikirkan di kampung tercinta itu.

Karena, bagaimana pun ketika hal itu bisa dilakukan para anak rantau untuk Desa Ranggitgit, saat ini disebut desa. Namun beberapa tahun ke depan, tidak ada yang lebih kuat dari sistem di istana kita itu.

Kembali kepada komitmen bersama juga. Ketika, itu bisa kita lakukan. Maka apa pun yang kita pikirkan bersama, ketika kepadatan penduduk di ibu kota terjadi, kita telah menyediakan tempat dimana kita bisa kembali ke kampung halaman dengan disambut segala sesuatu yang mungkin untuk dikelola sebagai kelangsungan hidup.

Saat ini, jika saja kota-kota perantauan telah memaksa kita harus pulang ke kampung halaman, apakah kita akan kembali ke pollak dengan pola pertanian yang lama? Apakah kita tidak ingin ada pola baru yang justru bisa membawa perubahan

  yang lebih besar ketika kita kembali. Bukan disambut kelaparan, namun justru kita akan disambut oleh kemakmuran.

Memang tidak mudah menyatukan persepsi ini. Harapan dan keinginan tentu ada.

Saya yakin, saudara-saudara ku di perantauan juga memikirkan hal itu. Karena tak selamanya kita akan pulang diakhir tahun, atau saat ada pesta atau acara adat. Memang saat ini belum terjadi, dalam perjalanan alkitab juga itu dikatakan, bahwa suatu saat semuanya akan kembali ke tanah kelahirannya.

Apakah kita akan kembali ke sana dengan jalanan berlumpur, rumah-rumah sudah tua, dan kita meminta makan sama warga yang menyambut kita disana?
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone