Selamat datang di blog saya

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA............

HORAS !!!

Rabu, 09 Maret 2011

DPRD Sumut Desak KPK dan Kejatisu Usut 2 Kasus Besar di DPRD Sumatera Utara

*Libatkan Oknum DewanTermasuk Kasus Adendum Gedung Dewan Rp 14,5 M dan Dana Bansos Senilai Ratusan Miliar

MEDAN, TRIBUN - ‎​Fraksi Partai Golkar DPRD Sumut mendesak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Kejaksaan Tinggi Sumut segera turun tangan mengusut secara tuntas 2 kasus besar yang sarat dengan korupsi maupun proyek fiktif senilai ratusan miliar di DPRD Sumut yang diduga melibatkan oknum anggota dewan.

Desakan itu diungkapkan Ketua Fraksi Golkar DPRD Sumut H Hardi Mulyono SE MAP didampingi Sekretarisnya Mulkan Ritonga kepada wartawan, Senin (7/3) di DPRD Sumut menanggapi mencuatnya 2 kasus besar di lembaga legislatif senilai ratusan miliar rupiah yang diduga melibatkan oknum anggota dewan.

"Fraksi Golkar dengan tegas meminta KPK dan Kejatisu untuk memulai penyelidikan terhadap 2 kasus besar yang terjadi di lembaga legislatif. Apalagi disebut-sebut melibatkan oknum anggota dewan. Hal ini sangat penting, demi tegaknya supremasi hukum, sekaligus membersihkan lembaga legislatif dari mental-mental korupsi," kata Hardi Mulyono.

Adapun dua kasus besar yang menghebohkan lembaga legislatif ini, tegas Sekretaris DPD Partai Golkar Sumut itu, diantaranya kasus adendum gedung DPRD Sumut yang baru senilai Rp 14,5 miliar yang banyak ditemukan kejanggalan dan menyalahi prosedural, sehingga menimbulkan keuangan Negara yang begitu besar.

"Dari  kasus adendum gedung dewan baru ini, yang paling fatal,  pengalokasiannya tidak pernah dibahas di Banggar (Badan Anggaran), tapi tiba-tiba ada "diseludupkan" masuk di APBD Sumut TA 201, sehingga menimbulkan tanda-tanya besar. Anehnya lagi, setelah kita teliti, ternyata dana sebesar Rp 14,5 miliar ini sudah dicairkan PT Jakon (Jaya Konstruksi) selaku kontraktor pembangunan gedung dewan pada TA 2010," ujar Hardi.

Atas dasar itu, Hardi Mulyono melihat, addendum gedung dewan baru tersebut jelas telah menyalahi aturan hukum dan terlihat sarat permainan oknum anggota dewan, sehingga besar harapan F Golkar agar KPK dan Kejatisu segera turun-tangan melakukan pengusutan, sebab bagaimanapun, semua pihak menginginkan lembaga legislatif ini bersih dari oknum-oknum pelaku korupsi.

"Kita sangat mendukung gebrakan Sekwan DPRD Sumut yang meminta pendapat BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menyangkut kasus adendum tersebut. Akhirnya BPK mengeluarkan pendapatnya, bahwa adendum  itu menyalahi aturan, sehingga memerintahkan  PT Jakon wajib mengembalikan dana Rp1,2 miliar ke kas daerah. Artinya, dari sisi keuangan jelas ada kerugian maupun pelangaran hukum," kata Hardi.

Sementara kasus kedua, tambah politisi muda ini, menyangkut dana Bansos (Bantuan Sosial) senilai ratusan miliar rupiah yang diduga melibatkan oknum anggota dewan, karena si penerima banyak yang diduga fiktif dan sarat permainan, tapi dikarenakan kepiawaian oknum dewan dimaksud, akhirnya dana Bansos bisa dicairkan.

"Kita tahu persis, permainan oknum dewan ini sangat piawai "menjatah" dana Bansos untuk anggota dewan. Bagi siapa yang menginginkan dana tersebut, si oknum dewan bisa mengurusnya dengan catatan harus ada fee beberapa persen," kata Hardi. Kasus ini sudah lama berlangsung, katanya, sehingga kita desak KPK segera turun tangan mengaudit dana Bansos selama 5 tahun terakhir ini (khusunya dana bansos untuk anggota dewan).

::::::::::::::::::::::::::::::::::::
KPK akan Periksa Adendum Gedung DPRD-SU Rp 14,5 Miliar

* Adendum Ada Dalangnya?  
** Sejumlah Anggota DPRD-SU Terkejut Dana Telah Habis
*** Oknum Pimpinan Dewan Jadi Pemasok Barang (Furniture)

MEDAN, Tanpa dilaporkan resmi oleh anggota DPRD Sumut atau Fraksi yang mempermasalahkan proses adendum gedung DPRD Sumut sebesar Rp 14,5 miliar, secara diam-diam ternyata KPK telah "menyenter" persoalan yang diributkan tersebut.  KPK khabarnya telah memasuki persoalan adendum ini sekira dua bulan lalu, dan diyakini KPK akan turun termasuk akan memeriksa pimpinan dan anggpota DPRD Sumut.

Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar (FPG) Mulkan Ritonga dan Ketua Komisi C Eddy Rangkuti (FPDI-P), ketika ditemui wartawan di Medan, Selasa (8/3), mengakui telah mendengar informasi itu dan juga meyakin KPK pasti  akan turun menangani kasus tersebut. Keduanya juga menyatakan siap diperiksa, walaupun keduanya mengaku tidak tahu menahu dengan addendum dimaksud.

Mulkan Ritonga  mengaku dalam pertemuan menyoal adendum itu justeru menyebutkan dirinya "bodoh" atau mungkin "dianggap bodoh" karena sama sekali tidak diberitahu dan tidak dilibatkan dalam  adendum. "Bayangkan adendum itu sama sekali tidak diketahui 41 anggota badan anggaran," kata Mulkan dan Eddy Rangkuti. Perlu diketahui badan anggaran DPRD Sumut sebanyak 46 orang, lima diantaranya dan duduk sebagai unsur pimpinan adalah masing-masing satu orang ketua dan empat  wakil ketua.Bersama Eddy Rangkuti, Mulkan pun sama-sama terkejut setelah mengetahui dana adendum yang dianggarkan atau ditampung di APBD 2011 ternyata sudah digunakan pada tahun 2010.

"Saya terus terang saja, selama ini soal adendum ini masih gelap, sebab saya memang tidak tahu menahu , tetapi saya benar-benar terkejut begitu tahu  dananya sudah digunakan di tahun lalu," kata Eddy sambil mengakui dia mendengar KPK telah mendapatkan "data addendum". "Menjawab pertanyaan kalian apakah siap diperiksa KPK ya tentulah saya siap diperiksa," kata Rangkuti.

Persoalan pun seakan menajam, karena disebut-sebut  ada unsur pimpinan dewan yang justeru jadi  pemasok  barang atau furnitur , sarana  perlengkapan gedung baru menyusul suksesnya proses addendum dimana dananya akhirnya ditampung pada APBD 2011. Adalah Mulkan Ritonga yang mengabarkan keterlibatan unsure pimpinan Dewan menjadi pemasok barang tersebut.

Mengamati masuknya anggaran adendum dalam APBD Sumut tanpa melalui mekanisme badan anggaran, atau tanpa lebih dahulu melalui musyawarah pimpinan dewan dengan  pimpinan-pimpinan Fraksi dan komisi apakah bukan sebatas pelanggaran prosedur?

Mulkan Ritonga mengatakan keyakinannya pada akhirnya addendum gedung DPRD Sumut sebesar Rp 14,5 miliar akan berujung pada kasus korupsi.

"Buktinya dalam proses addendum saja sudah terjadi kerugian negara Rp 1,3 miliar, dan itu sudah dikembalikan. Saya sangat yakin pada ujungnya addendum bukan sekedar persoalan pelanggaran mekanisme atau sebatas persoalan kode etik, tetapi akan menjadi kasus hokum, kasus korupsi," kata Mulkan sambil mengatakan, dengan biaya yang dianggarkan semulan yakni  Rp 171 miliar, sebenarnya gedung dewan yang baru sudah terbangun  tidak perlu lagi ada penambahan anggaran dalam bentuk adendum .

Dan kegunaan dana sebesar Rp 14,5 miliar itu sendiri menurut Eddy Rangkuti, sampai sekarang dia tidak mengetahui untuyk apa-apa saja. Dan dia membenarkan seolah-olah ada figur atau oknum yang bertindak sebagai dalang yang merancang proses dan penggunaaan anggaran adendum tersebut.

Dalam pelaksanaan tender saja kata Mulkan, terjadi kasus dimana ada proses tender  yang dibatalkan karena pihak tertentu kalah, kemudian dilakukan tender susulan yang memenangkan pihak yang kalah tadi. "Layaknya sebuah proses tender akal-akalan," kata Mulkan.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar